Selasa, 21 Januari 2014

Resolusi Kedepan Untuk SMFB (wawancara)




            Senat mahasiswa Fakultas Sastra dan Budaya  Universitas Udayana merupakan salah satu lembaga organisasi kemahasiswaan yang berada di bawah naungan lembaga legislatif mahasiswa yang bernama BPM. Senat digunakan sebagai salah satu media untuk menyampaikan aspirasi mahasiswa program studi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan kemahasiswaan. Dalam organisasi senat tentu saja dipimpin oleh salah satu orang sebagai penanggung jawab seluruh kegiatan yang dilakukan oleh senat tersebut. Salah satunya adalah I Made Agus Atseriyawan Hadi Sutresna yang merupakan ketua senat periode 2013.
            Agus Atseriyawan yang akrab di panggil Gus Cak lahir di Karangasem,27 Juni 1992, yang bertempat tinggal di Ungasan kabupaten Badung kecamatan Kuta Selatan. Beragama Hindu, memiliki hobi bermain basket, bermain musik gitar dan seruling. Riwayat pendididkan Gus Cak antara lain:
I Made Agus Atseriyawan Hadi Sutresna
1. SDN 4 Ungasan
2. SMPN 2 Kuta Selatan
3. SMAN 1 Kuta Selatan
4. Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana.
Adapun pengalaman organisasi yang dimiliki yaitu:
1. Wakil ketua OSIS SMP
2. Bid 1 di MAHASABA tahun 2012
3. Bid 1 SMFS tahun 2011-2012
4. Korbid 4 SMFS 2012
5. Ketua SMFSB tahun 2013-2014
Motto hidup yang dia miliki adalah “Senyum nikmati lalui”
Melalui wawancara yang saya lakukan dengan ketua senat periode 2013 beliu memaparkan beberapa harapan untuk senat yang lebih baik ke depannya. Berikut hasil wawancara yang saya lakukan dengan Gus Cak :

1. Bagaimana pengalaman Anda menjadi ketua senat selama tahun 2013 ?
 “Sudah pasti banyak pengalaman yang saya dapatkan, banyak belajar bagaimana memanajemen banyak orang, memanajemen waktu dan ketika menjadi seorang pemimpin lebih mempelajari bagaimana karakter orang”

2. Apa saja suka duka yang Anda rasakan menjadi ketua senat?
“ Setiap organisasi pasti tidak akan pernah luput dari masalah, adapun masalah internnya yaitu mempertahankan keutuhan anggota agar bagaimana dari anggota saya yang berjumlah 39 orang tetap 39 dan itu memang sangat sulit karena terkadang ada beberapa anggota yang tiba-tiba vakum terlebih lagi sulit dihubungi. Selain itu masalah ekstern yang dialami, saat adanya perubahan warna topi dari kuning menjadi putih, saat itu kami dari senat mengusutnya sampai ke STATUTA. Juga masalah pembongkaran gedung yang secara kontroversial lumayan menguras pemikiran kami disenat apakah kami akan pro atau kontra, tetapi akhirnya kami lebih memilih untuk melihat terlebih dahulu apakah ada undang-undangnya atau tidak dan melihat juga seperti apa fungsi dan manfaatnya nanti setelah menjadi gedung baru. Saya berfikir ini antara realita dan idealis, karena ketika beberapa orang ingin mempertahankan gedung dengan alasan apa yang mereka pelajari ditambah lagi menurut beberapa ahli bahwa apapun itu adalah suatu peninggalan budaya. Melihat hal itu, kami selaku senat mencoba mengakomodasi seluruh mahasiswa di Sastra yang dari berbagai jurusan, jadi kami menyerahkan permasalahan ini kepada Fakultas dan Universitas. Dan pada akhirnya pun gedung itu bukan termasuk peninggalan budaya yang akhirnya sekarang pun bisa dilihat pembongkaran sudah dilakukan. Terlepas dari itu, suka yang saya rasakan berada dalam keluarga senat ini juga sangat banyak selain banyak mengenal teman-teman dari berbagai jurusan dan angkatan juga dapat berbagai pengalaman.

3. kepengurusan senat periode ini akan segera berakhir, untuk itu apa harapan Anda kepada  calon ketua senat selanjutnya?
“Dapat menjaga nama almamater SMFSB, lebih meningkatkan eksistensinya, lebih menjalin hubungan baik dengan HMJ maupun UKM. Karena memang tidak dipungkiri banyak jurusan dan juga menyatukan pemikiran dari banyak jurusan dan juga semoga sesuatu yang belum bisa diraih di tahun 2013 didapatkan di tahun 2014. Salah satu contohnya yaitu mengharmoniskan dan menjalin hubungan yang baik antar seluruh mahasiswa dan yang terpenting apa yang bisa kita berikan untuk fakultas bukan apa yang fakultas berikan untuk kita”.

4. Setelah selesai menjabat menjadi ketua senat, apakah kegiatan yang akan Anda lakukan?
  Saya akan lebih memfokuskan diri untuk kuliah, karena saya juga sempat berada di almamater dan organisasi ini mungkin saya akan tetap ikut terlibat walaupun tidak secara langsung”

5. Apa pesan Anda sebagai ketua senat untuk seluruh mahasiswa Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana?
“ Pesan saya untuk seluruh mahasiswa Fakultas Sastra dan Budaya yaitu, senat itu bukan jurusan baru dan bukan jurusan ke 9  di FSB. Senat itu sebenarnya merupakan bagian dari seluruh mahasiswa FSB. Oleh karena itu, antara senat, HMPS maupun UKM perlu mengadakan suatu kerjasama yang baik agar bisa memberikan kontribusi yang terbaik untuk FSB UNUD. 
(dewi)

Rabu, 15 Januari 2014

Badan Eksekutif, Badan Legislatif dan Masyarakat Kampus


Kampus seharusnya seperti miniatur negara, lengkap dengan mahasiswa sebagai rakyat. Mengacu pada konsep tersebut, maka dibentuklah organisasi tingkat universitas dan fakultas yang berperan sebagai lembaga eksekutif, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ditingkat universitas dan Senat Mahasiswa (SM) ditingkat fakultas. Peran fungsi BEM dan Senat selaku badan eksekutif kampus pun seharusnya sama dengan fungsi lembaga eksekutif nasional yaitu melaksanakan pemerintahan di ruang lingkup wewenangnya yang berlandaskan aspirasi rakyat yang sebelumnya ditampung di Badan Legislatif. Melihat dari pengertian diatas, peran lembaga legislatif dipaksa untuk selalu proaktif mencari tahu apa sebenarnya yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat kampus, karena tanpa Badan Legislatif, Badan Eksekutif akan bekerja tanpa tahu arahnya dan mungkin akan menimbulkan gejolak saling tuding menuding di lingkungan masyarakat kampus. Badan Legislatif dalam ranah universitas dan Fakultas biasa disebut Badan Perwakilan Mahasiswa. Tetapi, Badan Legislatif tanpa mahasiswa sebagai masyarakat kampus adalah nonsense. Disini peran mahasiswa adalah sebagai pengawal kinerja Badan Eksekuti Mahasiswa yang nantinya seluruh aspirasinya akan diberikan pada Badan Legislatif untuk secepat mungkin diproses. Konektivitas tanpa putus antar Mahasiswa dan Badan Legislatif adalah hal yang mutlak diperlukan untuk mampu mewujudkan demokrasi secarah utuh. Jika nantinya peran Badan Legislatif Mahasiswa (BPM) dirasa mandul, mahasiswa harus mengambil peran aktif untuk mengawal jalannya proses demokrasi. Disinilah mindset mahasiswa yang terkesan apatis terhadap lingkungan disekitarnya, tidak terkecuali kampus harus dirubah. Tanpa adanya sikap kritis dan proaktif dalam diri mahasiswa sendiri, suatu proses demokrasi tidak akan terjadi. Jika peran control mahasiswa lemah maka, rasa ketidakpercayaan terhadap Badan Eksekutif akan terus terjadi dan Badan Eksekutif akan selalu tersudutkan. “The government is merely a servant―merely a temporary servant; it cannot be its prerogative to determine what is right and what is wrong, and decide who is a patriot and who isn't. Its function is to obey orders, not originate them.”  ― Mark Twain. (kem)
ilustrasi mahasiswa




Sang Veteran (cerpen)

Hampir tiap sore Kakek Joko keluar dari rumahnya dengan memakai pakaian perangnya yang using.  Sisa lekat lumpur yang terlihat jelas di ujung bawah lingkar celananya, menandakan bahwa setelan pakaian itu sering menyentuh tanah. Baju itu makin usang sebab usianya sudah lebih dari setengah abad, dan katanya tak pernah ia cuci. “Kalau dicuci nanti bau darah perjuangannya bisa hilang. Ini sejarah, nak. Saksi sejarah..”
Saat masih SD, sepulang sekolah aku dan kawan – kawan di sekitar rumah suka berkunjung ke rumah kakek Joko. Rumahnya berada agak pedalaman dari rumah penduduk. Melewati petak sawah yang kering tak terawatt selebar 7 meter. Rumahnya berdiri di tanah dengan luas sekitar 2 are. Namun rumahnya menyudut di belakang. Kecil sekali. Mirip kandang kambing di kampung. Cat – cat temboknya mengelupas tak teratur. Langit – langit kamarnya bocor disana – sini. Di rumah yang hanya terdiri dari 2 kamar itu, ia tinggal bersama istrinya. Selama kami berkunjung kesana, kami tidak pernah melihat siapapun kecuali sepasang suami istri yang kian renta itu. Namun menurut warga disana kakek Joko punya dua anak laki – laki. Tapi mereka merantau jauh entah kemana dan tidak pernah pulang mengunjungi orang tuanya.

Di halaman rumahnya tumbuh menjulang dua pohon mangga, masing – masing di sisi kiri dan sisi kanan. Jika sedang berbuah lebat, istri kakek Joko suka memberikan mangga yang matang pada warga sekitar dengan Cuma – Cuma. Kadang kami membuat rujak bersama disana sambil mendengarkan cerita kakek Joko.

Setiap kali kami berkunjung ke rumahnya, kakek Joko hampir selalu menceritakan hal yang sama berulang kali. Barangkali ada banyak cerita yang ia punya semasa menjadi prajurit perang. Namun usia yang kian bertambah tentu menghapus sebagian ingatannya pelan – pelan. Kami berusaha untuk tidak pernah bosan, sebab selalu ada sepiring pisang goreng buatan istrinya di meja, lengkap dengan teh hangat yang tidak terlalu manis. Dengan sisa gigi yang diam – diam suka kami hitung saat beliau bercerita, kakek Joko masih bisa berbicara dengan lancar meski sesekali suaranya tenggelam seperti melumat sesuatu yang kental di dalam mulutnya. Kadang – kadang kami malas untuk berkunjung ke rumahnya. Selain sudah bisa menebak apa yang akan ia ceritakan, kami saat itu lebih suka bermain kelereng dan yoyo. Namun ibu dan ayah kami memaksa kami untuk datang ke rumahnya. Kakek Joko sudah seperti ayah bagi orang tua kami. Mereka akan merasa tidak enak bila kakek Joko kesepian. Setidaknya bila ada yang mendengarkan cerita perjuangannya, ia masih yakin kalau saat tu ia masih hidup dan masih bisa membagi ceritanya pada orang lain.

Setiap tanggal 17 Agustus, kakek Joko selalu jadi salah satu tamu istimewa pada pelaksanaan upacara bendera di lapangan kantor gubernur. Ia berdiri paling tegak di antara rekan – rekan seperjuangan lainnya. Kadang aku merasa kakek Joko diperlakukan tidak adil. Puluhan tahun ia berjuang bersama rekan – rekannya untuk merebut kemerdekaan. Tapi setelah kemerdekaan itu bisa dirayakan dengan meriah setiap tahunnya, ia justru dilupakan. Hanya diundang setahun sekali untuk berdiri di bawah terik matahari. Disebut namanya sebagai pahlawan, disambut tepuk tangan, dan diberi uang saku sekedar untuk makan satu bulan kemudian dilupakan. Ia selalu merasa dibanggakan, tanpa sadar bahwa ia sesungguhnya telah jadi bagian yang dilupakan dari sejarah.

Ia dan istrinya sudah renta. Sudah tak punya sisa tenaga untuk bekerja. Selama ini mereka hidup dari pemberian para tetangga. Beras, lauk pauk atau jajanan kecil untuk sarapan. Kakek Joko seringkali merasa bahwa perhatian para tetangga padanya adalah bentuk penghargaan mereka karena ia adalah mantan pejuang. Tapi diluar dari yang ia duga selama ini. para tetangga hanya merasa iba padanya. Gelar veteran bukanlah gelar yang penting lagi di mata masyarakat. Sebab telah berpuluh tahun dari kemerdekaan, dan hidup mereka terlalu sia – sia jika hanya digunakan untuk mengenang pejuang. Orang – orang masa kini lebih mementingkan dirinya sendiri. Mementingkan sesuap nasi untuk anak – anaknya. Tak ada lagi kepedulian pada sejarah.

Suatu hari di tanggal 17 Agustus. Kakek Joko tidak diundang ke upacara bendera manapun. Biasanya pagi – pagi sebelum berangkat untuk mengikuti upacara bendera, ia akan berjalan tegap sepanjang perumahan kami sambil menyanyikan lagu perjuangan. Bila mendengar suara hentakan kaki dengan suara nyanyian yang menggebu, berarti kakek joko sedang gembira. Dan orang – orang di perumahan akan keluar rumah sekedar untuk menyapanya diselingi canda tawa.

Tidak diundangnya kakek Joko ke upacara bendera hari kemerdekaan RI menajdi pembicaraan ibu – ibu di perumahan selama berminggu – minggu. Ada rasa iba, marah, cuek dan bermacam lainnya. Suatu sore, kami bermain ke rumah kakek Joko. Ia tidak sesumringah biasanya. Ada sedikit ekspresi malu di wajahnya saat mendapati kami masih mau berkunjung ke rumahnya setelah ia secara tidak langsung sudah tidak diakui sebagai veteran. Saat itu kami ingin sekali menghiburnya, sebab kami tahu ia pasti sangat sedih karena tidak bisa lagi menyaksikan bendera merah putih berkibar di hadapannya. Di hadapan seorang veteran yang ikut memperjuangkan kemerdekaan negara yang sama sekali tidak memperjuangkan hidup para veteran.

Beranjak remaja, kami makin jarang bermain ke rumah kakek Joko. Kami mulai sibuk denagn diri kami sendiri. Ternyata benar, semakin dewasa kita tidak lagi punya waktu untuk orang lain. tidak bisa lagi saling peduli seperti saat masih SD. Padahal kami pernah berjanji akan tetap jadi teman bermain sampai dewasa nanti. Tapi kepentingan dan usia bebas merubah apa pun. Termasuk persahabatan kami dengan kakek Joko. Tahun ke tahun kami lewati. Dan ternyata hanya saat lebaran kami mengunjungi kakek Joko dan istrinya. Masih saja ia bercerita soal masa – masa berperang dahulu. Bedanya kini ia mulai lupa padaku dan kawan – kawan. Saat ia hampir iangat, ia malah memaksa bahwa tidak mungkin kami secepat ini beranjak dewasa, padahal baru kemarin beramai – ramai memanjat pohon mangga di halaman rumahnya.

Saat lulus SMA, aku melanjutkan kuliah ke luar kota. Tak pernah lagi kudengar kabar kakek Joko. Aku pun mulai lupa pada masa kanak yang sering kuhabiskan dirumahnya. Hanya setiap tanggal 17 Agustus aku ingat pada kakek Joko. Berdiam sebentar memikirkannya, kemudian esoknya lupa lagi sampai tanggal 17 Agustus tahun berikutnya datang.

Hari ini adalah lebaran pertama setelah aku  menikah. Aku mengajak istriku pulang ke kampung halaman. Sesampainya di rumah aku dikejutkan oleh sebuah kabar. Aku tak bsia lagi mengunjungi kakek Joko untuk bersilaturahmi. Tanahnya diambil pemerintah dengan alasan bahwa tanah yang ia tinggali selama ini adalah tanah milik negara. Aku geram, namun hanya bisa diam. Saat kutanya kini kakek Joko tinggal dimana, Ibu hanya menggeleng penuh iba.


Sepulang darirumah orangtuaku aku melewati taman kota. Disinilah upacara bendera tahunan bersama gubernur biasa dilaksanakan. Tempat kakek Joko biasa berdiri dengan gagah sebagai veteran. Sekilas mata, aku memandang kea rah tiang bendera. Kulihat seorang kakek tua berjalan terseok – seok sambil dirangkul istrinya yang berkerudung batik. ia berhenti tepat di depan tiang bendera kemudian member hormat pada tiang yang berdiri tanpa bendera di ujungnya. Ia member hormat sekitar 20 detik, kemudian melanjutkan lagi berjalan kea rah barat. Beberapa anak nakal mengikutinya di belakang sambil meneriaki laki – laki tua dan istrinya itu.. “orang gila..orang gila..”. (kem)

ilustrasi veteran


Meski Sedikit Tetapi Aku Bangga



Progam studi Sastra Indonesia di Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana kurang diminati oleh banyak calon mahasiswa baru. Mengapa demikian? Penyebabnya adalah banyak orang berpendapat untuk apa belajar bahasa Indonesia? Mending belajar bahasa Inggris atau bahasa Jepang. Anggapan masyarakat yang merehmekan untuk belajar  bahasa Indonesia membuat bahasa Indonesia di Unud  kuranglah begitu berkembang. Dapat dilihat dari setiap angkatan jumlah mahasiswanya hanya kurang lebih 20 orang, itupun lebih banyak mahasiswa dari luar Bali. Berbanding terbalik dengan Sastra Inggris atau Sastra Jepang yang jumlah mahasiswanya lebih dari 20 orang perangkatan.

Di Pulau Jawa nasip Prodi Sastra Indonesia tidak setragis di Bali. Jika di Unud kurang begitu banyak yang menyukai Sastra Indonesia, di perguruan tinggi di Pulau Jawa peminat Prodi Sastra Indonesia sangatlah banyak. Bahkan disetiap angkatnnya bisa sampai ratusan orang. Bagi siapa saja yang ingin berkuliah di Udayana dan mengambil jurusan Sastra Indonesia, janganlah ragu atau pun kecil hati. Jangan dengarkan omongan orang kalau belajar bahasa Indonesia tidak ada gunanya. Itu semua salah, sebab nasib bukan ditentukan orang lain. Tetapi nasip kita tentukan sendiri, dengan bekerja keras dan selalu rajin belajar kita dapat mengejar cita-cita yang kita impikan. (clara)

Sabtu, 11 Januari 2014

Kantin Fakultas Sastra Dan Budaya Universitas Udayana



Kantin adalah tempat untuk  mahasiswa yang biasa di jadikan tempat pelarian jika sedang tidak ada dosen, sedang lapar, dan saat bolos pun kantin menjadi tempat faforit bagi mahasiswa untuk nongkrong. Begitu pula di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana kantin Bu Dayu adalah satu-satunya yang ada di kampus. Pemilik dari kantin ini adalah Bu dayu sendiri. Beliu mengajak 4 orang untuk membantunya berjualan di kantin kampus. Makanan yang di jual di kantin Bu Dayu kurang lebihnya sama seperti warung-warung yang ada di luar Fakultas Sastra Dan Budaya. Makanan yang di jual seperti minuman,  jus, nasi campur, nasi jinggo di pagi hari, cemilan, mie goreng, rokok, gorengan dan lain-lain. Tetapi ada yang berbeda dengan harga yang di jual di kantin Bu dayu ini. Di kantin Bu Dayu harga makanan lebih mahal jika dibandingkan dengan warung-warung di luar. Menurut Bu Dayu sekaligus pemilik kantin pada saat di tanyakan, mengapa harga makanan yang dijual di kantin lebih mahal? Beliu menjawab, agar untung yang di peroleh lebih banyak. Tidak hanya mahasiswa yang belanja di kantin Bu Dayu, tetapi ada juga para dosen, karyawan, dan mahasiswa asing pun belanja di kantin. Tempatnya yang strategis dekat dengan parkiran membuat banyak mahasiswa yang duduk di atas motor sambil makan. Sebenarnya hal itu tidak boleh dilakukan, karena mahasiswa seharusnya tidak boleh duduk di atas motor. Tempatnya yang cukup bersih membuat mahasiswa nyaman ada di kantin. Tetapi, disaat musim hujan biasanya banyak genangan air yang ada di depan kantin sehingga membuat kantin Bu Dayu menjadi becek. Di kantin Bu Dayu ini juga menerima pesanan makanan seperti nasi, dan juga snack. Jika sedang ada acara di kampus, misalnya acara seminar dll makanan biasanya di pesan di kantin Bu Dayu dengan harga yang bisa ditawar tergantung apa saja makanan yang di inginkan. Temptnya yang masih di area kampus membuat lebih praktis untuk memesana makanan di kantin Bu Dayu. (lilik)

I Gusti Putu Wisnu, Sang Pahlawan yang Terlupakan

Anda pasti sudah tahu Jalan Mayor Wisnu yang terletak di seputaran Kayumas-Kota Denpasar atau mungkin Bandara Mayor Wisnu yang ada di Buleleng. Namun, tahukah Anda, Siapakah sebenarnya Mayor Wisnu?

letkol wisnu
Mayor Wisnu merupakan salah satu dari sekian banyak para pejuang kemerdekaan Indonesia yang seakan-akan terlupakan oleh para generasi muda Bali. Beliau dilahirkan di Klungkung pada tahun 1919, dengan nama I Gusti Putu Wisnu. Ayahnya, I Gusti Nyoman Oka adalah seorang ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia Belanda-pen) yang berasal dari Banjar Penataran, Buleleng. Di Klungkunglah Wisnu kecil tumbuh besar hingga pada tahun 1926, Wisnu kecil masuk HIS (Hollands Inlandsche School-SD Belanda-pen) di Denpasar dan lulus pada 1933. Setelah lulus HIS, Wisnu remaja kemudian melanjutkan ke MULO (Meer UItgebreed Leger Onderwijs-SMP Belanda-pen) di Malang. Namun, ketika Wisnu remaja duduk di kelas 3, ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah yang sangat ia cintai. Oleh karena ibunya meninggal dunia.

Setelah itu, bersama sahabatnya Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai-pen) memasuki kursus kadet militer Belanda di Gianyar dan lulus dengan pangkat 2e Leutnant (Tweede Leutnant/Letnan Dua-pen). Kemudian Pemuda Wisnu bertugas di Korps Prayodha Singaraja. Sayangnya ia harus menutup karir kemiliteran Belandanya ketika Jepang masuk ke Bali.

Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah pendudukan Jepang membuat sebuah pendidikan militer untuk para pribumi yang dinamakan PETA (Pembela Tanah Air-pen). Pemuda Wisnu pun bergabung dan mengikuti pendidikan militer di Ringshitai Singaraja, bersama Kemal Idris (kelak Pangdam Siliwangi-pen), Pak Rai, dan Pak Pindha (I  Gusti Ngurah Pindha, kelak Wagub Bali-pen). Pemuda Wisnu yang sudah dikenal dengan panggilan “Pak”, lulus dengan pangkat Chudanco (setara Kapten-pen).

Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Pak Wisnu bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat-pen), dan diangkat sebagai Komandan Batalyon I TKR Sunda Kecil. Kemudian bersama Pak Rai, beliau ke Yogyakarta untuk menerima petunjuk-petunuk dari Mabes TKR dan meminta bantuan dalam rangka menghadapi Belanda di Bali. Dan sewaktu beliau kembali ke Bali, ternyata pasukan Belanda sudah mendarat di Bali pada bulan Februari 1946. Ketika itu, pasukan TKR Sunda Kecil tercerai berai dan terpencar. Pak Wisnu bersama Pak Rai dan pemimpin pejuan lainnnya segara berusaha untuk mempersatukan pasukannya kembali.


Selanjutnya, Pak Wisnu diangkat sebagai Kepala Staf TKR (Resimen) Sunda Kecil. Beliau senantiasa setia mendampingi komandannya (Pak Rai-pen) melakukan perang gerilya, menggempur kedudukan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration-pen) di hutan-hutan, desa, maupun kota di seluruh Bali. Setelah pertempuran di Tanah Aron-Karangasem, pasukan TKR (Resimen) Sunda Kecil sempat terpecah-pecah lagi dan diperintahkan kembali ke daerah masing-masing, karena kehabisan amunisi. Kemudian, karena tidak berhasil menyebrang kembali ke Jawa, Pak Wisnu dan Pak Rai, serta beberapa kawan pejuang lainnya berusaha untuk mendapatkan senjata dan peluru-peluru di Bali. Usaha itu berhasil dengan direbutnya dan diambilnya amunisi di Tangsi Polisi NICA Tabanan. Namun sialnya, tindakan itu diketahui oleh Belanda. Pasukan Pak Rai yang dijuluki Ciung Wanara dikepung dan digempur habis-habisan oleh NICA dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Dan pada hari yang naas, 20 November 1946, pasukan Ciung Wanara yang bertempur dengan semangat puputan dihancurkan oleh NICA. Pak Wisnu pun beserta Pak Rai dan 94 anak buahnya, gugur sebagai kusuma bangsa. Dan pertempuran tersebut dikenal oleh masyarakat sebagai Pertempuran Puputan Margarana.(Ida Ayu Putu Novinasari)

Gelombang Ketiga, Kado Manis di Tahun 2014 (opini)


           Tahun Baru 2014 merupakan tahun yang istimewa bagi bangsa Indonesia. Mengapa? Karena di tahun inilah Indonesia akan melaksanakan sebuah “hajatan akbar” dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia yaitu Pemilihan Umum 2014. Disebut sebuah “hajatan akbar” karena Pemilu ini merupakan titik balik (turning point) yang akan menentukan jalannya sejarah bangsa Indonesia 5 tahun ke depan, atau bahkan 50 tahun ke depan. Pemilu 2014 ini penting bukan hanya karena itu menandakan pergeseran kekuasaan dalam pemerintahan, tetapi juga karena berfungsi sebagai momentum untuk gelombang ketiga sejarah Indonesia.

            Mungkin Anda bertanya-tanya apakah itu gelombang ketiga? Gelombang ketiga ialah peralihan generasi yang akan memegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa, atau saya meminjam kalimat dari Presiden PKS Anis Matta yaitu generasi muda yang berusia di bawah 45 tahun akan memimpin bangsa ini. Gelombang ketiga ini akan menggantikan gelombang kedua atau generasi tua yang selama ini memegang tongkat kepemimpinan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Saya pun juga sempat berpikiran seperti itu. Namun, jika kita kaji lebih jauh, gelombang ketiga ini merupakan unsur terbesar dalam komposisi demografi yang ada di negeri kita ini. Karena, dalam pemilu 2014 nanti pemilih pemula mayoritas berumur 18-21 tahun atau dengan kata lain lahir pada tahun 1992-1997.

            Selain itu, terdapat banyak ciri-ciri lain dari gelombang ketiga ini, yaitu kelas menengah yang berpendidikan cukup tinggi dan kesejahteraan yang membaik. Kelas menengah yang berpendidikan cukup tinggi maksudnya ialah banyaknya kaum muda yang berasal dari kelas menengah yang memperoleh pendidikan minimal S-1, hal ini dapat kita lihat dengan makin banyaknya kaum muda kelas menengah yang memasuki bangku kuliah jika kita bandingkan dengan keadaan 10 atau bahkan 20 tahun yang lalu. Hal ini telah membuktikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia cukup membaik, jika kita tidak mau mengatakannya sangat baik. Generasi ini juga merupakan generasi asli demokrasi atau native democracy generasi yang hanya mengalami demokrasi. Mereka tidak pergi melalui Orde Baru ke era Reformasi. Mereka menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang diberikan dan bukan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan berdarah. Selanjutnya, untuk kelompok ini, kekacauan politik bisa memberi makan ke dalam rasa apatisnya terhadap demokrasi. Karena ini merupakan gelombang baru yang lahir oleh perubahan demografi. Oleh karena itu, orientasi terhadap kemanusiaan sebagai puncak mind set generasi ini.

Tidak harus ada lagi perbedaan antara negara dan masyarakat sipil. Negara harus kembali ke definisi inti sebagai organisasi sosial untuk menciptakan ketertiban. Konsolidasi sosial akan membantu pertumbuhan masyarakat. Negara ini kemudian diuji kapasitasnya: Dapatkah negara berhasil memberikan perannya? Otoritas negara tidak lagi relevan jika kapasitasnya untuk fungsi tersebut tidak memenuhi harapan ini mayoritas baru. Oleh karena itu, saya percaya, untuk mengatasi masalah ini kita perlu pendekatan kepemimpinan baru.


Pemilu 2014 tidak hanya akan mengakomodasi pergeseran kekuatan, tetapi juga pergeseran masuk gelombang sejarah baru. Sebuah pergeseran kekuatan hal yang lumrah dalam demokrasi. Namun, apa yang lebih mendesak dan penting sekarang adalah memahami apa artinya perubabahan gelombang ini bagi kita sebagai sebuah bangsa. Artinya, apa yang saya percaya tentang ini, kita harus benar-benar menggali dan mendiskusikan sekarang. Jadi, selamat tahun baru dan selamat menkmati kado ini. (Ida Ayu Putu Novinasari)

ilustrasi 1