Anda
pasti sudah tahu Jalan Mayor Wisnu yang terletak di seputaran Kayumas-Kota
Denpasar atau mungkin Bandara Mayor Wisnu yang ada di Buleleng. Namun, tahukah
Anda, Siapakah sebenarnya Mayor Wisnu?
![]() |
letkol wisnu |
Mayor
Wisnu merupakan salah satu dari sekian banyak para pejuang kemerdekaan
Indonesia yang seakan-akan terlupakan oleh para generasi muda Bali. Beliau
dilahirkan di Klungkung pada tahun 1919, dengan nama I Gusti Putu Wisnu.
Ayahnya, I Gusti Nyoman Oka adalah seorang ambtenaar (pegawai pemerintah
Hindia Belanda-pen) yang berasal dari Banjar Penataran, Buleleng. Di
Klungkunglah Wisnu kecil tumbuh besar hingga pada tahun 1926, Wisnu kecil masuk
HIS (Hollands Inlandsche School-SD Belanda-pen) di Denpasar dan
lulus pada 1933. Setelah lulus HIS, Wisnu remaja kemudian melanjutkan ke MULO (Meer
UItgebreed Leger Onderwijs-SMP Belanda-pen) di Malang. Namun, ketika
Wisnu remaja duduk di kelas 3, ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah yang
sangat ia cintai. Oleh karena ibunya meninggal dunia.
Setelah
itu, bersama sahabatnya Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai-pen) memasuki kursus kadet
militer Belanda di Gianyar dan lulus dengan pangkat 2e Leutnant (Tweede
Leutnant/Letnan Dua-pen). Kemudian Pemuda Wisnu bertugas di Korps Prayodha
Singaraja. Sayangnya ia harus menutup karir kemiliteran Belandanya ketika
Jepang masuk ke Bali.
Pada
masa pendudukan Jepang, pemerintah pendudukan Jepang membuat sebuah pendidikan
militer untuk para pribumi yang dinamakan PETA (Pembela Tanah Air-pen). Pemuda
Wisnu pun bergabung dan mengikuti pendidikan militer di Ringshitai Singaraja,
bersama Kemal Idris (kelak Pangdam Siliwangi-pen), Pak Rai, dan Pak Pindha
(I Gusti Ngurah Pindha, kelak Wagub
Bali-pen). Pemuda Wisnu yang sudah dikenal dengan panggilan “Pak”, lulus dengan
pangkat Chudanco (setara Kapten-pen).
Pasca
Proklamasi Kemerdekaan, Pak Wisnu bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan
Rakyat-pen), dan diangkat sebagai Komandan Batalyon I TKR Sunda Kecil. Kemudian
bersama Pak Rai, beliau ke Yogyakarta untuk menerima petunjuk-petunuk dari
Mabes TKR dan meminta bantuan dalam rangka menghadapi Belanda di Bali. Dan
sewaktu beliau kembali ke Bali, ternyata pasukan Belanda sudah mendarat di Bali
pada bulan Februari 1946. Ketika itu, pasukan TKR Sunda Kecil tercerai berai
dan terpencar. Pak Wisnu bersama Pak Rai dan pemimpin pejuan lainnnya segara
berusaha untuk mempersatukan pasukannya kembali.
Selanjutnya,
Pak Wisnu diangkat sebagai Kepala Staf TKR (Resimen) Sunda Kecil. Beliau
senantiasa setia mendampingi komandannya (Pak Rai-pen) melakukan perang
gerilya, menggempur kedudukan tentara NICA (Netherlands Indies Civil
Administration-pen) di hutan-hutan, desa, maupun kota di seluruh Bali.
Setelah pertempuran di Tanah Aron-Karangasem, pasukan TKR (Resimen) Sunda Kecil
sempat terpecah-pecah lagi dan diperintahkan kembali ke daerah masing-masing,
karena kehabisan amunisi. Kemudian, karena tidak berhasil menyebrang kembali ke
Jawa, Pak Wisnu dan Pak Rai, serta beberapa kawan pejuang lainnya berusaha untuk
mendapatkan senjata dan peluru-peluru di Bali. Usaha itu berhasil dengan
direbutnya dan diambilnya amunisi di Tangsi Polisi NICA Tabanan. Namun sialnya,
tindakan itu diketahui oleh Belanda. Pasukan Pak Rai yang dijuluki Ciung Wanara
dikepung dan digempur habis-habisan oleh NICA dengan mengerahkan seluruh
kekuatannya. Dan pada hari yang naas, 20 November 1946, pasukan Ciung Wanara
yang bertempur dengan semangat puputan dihancurkan oleh NICA. Pak Wisnu
pun beserta Pak Rai dan 94 anak buahnya, gugur sebagai kusuma bangsa. Dan
pertempuran tersebut dikenal oleh masyarakat sebagai Pertempuran Puputan
Margarana.(Ida Ayu Putu Novinasari)
sekarang yang nulis ini jadi wartawan beneran, mantap
BalasHapusWowwwww selamat
HapusTerima kasih, informasi ini sangat berharga bagi saya untuk mempelajari I Gusti Putu Wisnu. Padahal ketika saya menelusuri Tokoh-Tokoh yang terkait dalam perang Margarana saya mengira hanya I Gusti Ngurah Rai saja yang menjadi pemimpinnya. Sekali lagi terima kasih telah menulis artikel ini.
BalasHapus