Rabu, 15 Januari 2014

Sang Veteran (cerpen)

Hampir tiap sore Kakek Joko keluar dari rumahnya dengan memakai pakaian perangnya yang using.  Sisa lekat lumpur yang terlihat jelas di ujung bawah lingkar celananya, menandakan bahwa setelan pakaian itu sering menyentuh tanah. Baju itu makin usang sebab usianya sudah lebih dari setengah abad, dan katanya tak pernah ia cuci. “Kalau dicuci nanti bau darah perjuangannya bisa hilang. Ini sejarah, nak. Saksi sejarah..”
Saat masih SD, sepulang sekolah aku dan kawan – kawan di sekitar rumah suka berkunjung ke rumah kakek Joko. Rumahnya berada agak pedalaman dari rumah penduduk. Melewati petak sawah yang kering tak terawatt selebar 7 meter. Rumahnya berdiri di tanah dengan luas sekitar 2 are. Namun rumahnya menyudut di belakang. Kecil sekali. Mirip kandang kambing di kampung. Cat – cat temboknya mengelupas tak teratur. Langit – langit kamarnya bocor disana – sini. Di rumah yang hanya terdiri dari 2 kamar itu, ia tinggal bersama istrinya. Selama kami berkunjung kesana, kami tidak pernah melihat siapapun kecuali sepasang suami istri yang kian renta itu. Namun menurut warga disana kakek Joko punya dua anak laki – laki. Tapi mereka merantau jauh entah kemana dan tidak pernah pulang mengunjungi orang tuanya.

Di halaman rumahnya tumbuh menjulang dua pohon mangga, masing – masing di sisi kiri dan sisi kanan. Jika sedang berbuah lebat, istri kakek Joko suka memberikan mangga yang matang pada warga sekitar dengan Cuma – Cuma. Kadang kami membuat rujak bersama disana sambil mendengarkan cerita kakek Joko.

Setiap kali kami berkunjung ke rumahnya, kakek Joko hampir selalu menceritakan hal yang sama berulang kali. Barangkali ada banyak cerita yang ia punya semasa menjadi prajurit perang. Namun usia yang kian bertambah tentu menghapus sebagian ingatannya pelan – pelan. Kami berusaha untuk tidak pernah bosan, sebab selalu ada sepiring pisang goreng buatan istrinya di meja, lengkap dengan teh hangat yang tidak terlalu manis. Dengan sisa gigi yang diam – diam suka kami hitung saat beliau bercerita, kakek Joko masih bisa berbicara dengan lancar meski sesekali suaranya tenggelam seperti melumat sesuatu yang kental di dalam mulutnya. Kadang – kadang kami malas untuk berkunjung ke rumahnya. Selain sudah bisa menebak apa yang akan ia ceritakan, kami saat itu lebih suka bermain kelereng dan yoyo. Namun ibu dan ayah kami memaksa kami untuk datang ke rumahnya. Kakek Joko sudah seperti ayah bagi orang tua kami. Mereka akan merasa tidak enak bila kakek Joko kesepian. Setidaknya bila ada yang mendengarkan cerita perjuangannya, ia masih yakin kalau saat tu ia masih hidup dan masih bisa membagi ceritanya pada orang lain.

Setiap tanggal 17 Agustus, kakek Joko selalu jadi salah satu tamu istimewa pada pelaksanaan upacara bendera di lapangan kantor gubernur. Ia berdiri paling tegak di antara rekan – rekan seperjuangan lainnya. Kadang aku merasa kakek Joko diperlakukan tidak adil. Puluhan tahun ia berjuang bersama rekan – rekannya untuk merebut kemerdekaan. Tapi setelah kemerdekaan itu bisa dirayakan dengan meriah setiap tahunnya, ia justru dilupakan. Hanya diundang setahun sekali untuk berdiri di bawah terik matahari. Disebut namanya sebagai pahlawan, disambut tepuk tangan, dan diberi uang saku sekedar untuk makan satu bulan kemudian dilupakan. Ia selalu merasa dibanggakan, tanpa sadar bahwa ia sesungguhnya telah jadi bagian yang dilupakan dari sejarah.

Ia dan istrinya sudah renta. Sudah tak punya sisa tenaga untuk bekerja. Selama ini mereka hidup dari pemberian para tetangga. Beras, lauk pauk atau jajanan kecil untuk sarapan. Kakek Joko seringkali merasa bahwa perhatian para tetangga padanya adalah bentuk penghargaan mereka karena ia adalah mantan pejuang. Tapi diluar dari yang ia duga selama ini. para tetangga hanya merasa iba padanya. Gelar veteran bukanlah gelar yang penting lagi di mata masyarakat. Sebab telah berpuluh tahun dari kemerdekaan, dan hidup mereka terlalu sia – sia jika hanya digunakan untuk mengenang pejuang. Orang – orang masa kini lebih mementingkan dirinya sendiri. Mementingkan sesuap nasi untuk anak – anaknya. Tak ada lagi kepedulian pada sejarah.

Suatu hari di tanggal 17 Agustus. Kakek Joko tidak diundang ke upacara bendera manapun. Biasanya pagi – pagi sebelum berangkat untuk mengikuti upacara bendera, ia akan berjalan tegap sepanjang perumahan kami sambil menyanyikan lagu perjuangan. Bila mendengar suara hentakan kaki dengan suara nyanyian yang menggebu, berarti kakek joko sedang gembira. Dan orang – orang di perumahan akan keluar rumah sekedar untuk menyapanya diselingi canda tawa.

Tidak diundangnya kakek Joko ke upacara bendera hari kemerdekaan RI menajdi pembicaraan ibu – ibu di perumahan selama berminggu – minggu. Ada rasa iba, marah, cuek dan bermacam lainnya. Suatu sore, kami bermain ke rumah kakek Joko. Ia tidak sesumringah biasanya. Ada sedikit ekspresi malu di wajahnya saat mendapati kami masih mau berkunjung ke rumahnya setelah ia secara tidak langsung sudah tidak diakui sebagai veteran. Saat itu kami ingin sekali menghiburnya, sebab kami tahu ia pasti sangat sedih karena tidak bisa lagi menyaksikan bendera merah putih berkibar di hadapannya. Di hadapan seorang veteran yang ikut memperjuangkan kemerdekaan negara yang sama sekali tidak memperjuangkan hidup para veteran.

Beranjak remaja, kami makin jarang bermain ke rumah kakek Joko. Kami mulai sibuk denagn diri kami sendiri. Ternyata benar, semakin dewasa kita tidak lagi punya waktu untuk orang lain. tidak bisa lagi saling peduli seperti saat masih SD. Padahal kami pernah berjanji akan tetap jadi teman bermain sampai dewasa nanti. Tapi kepentingan dan usia bebas merubah apa pun. Termasuk persahabatan kami dengan kakek Joko. Tahun ke tahun kami lewati. Dan ternyata hanya saat lebaran kami mengunjungi kakek Joko dan istrinya. Masih saja ia bercerita soal masa – masa berperang dahulu. Bedanya kini ia mulai lupa padaku dan kawan – kawan. Saat ia hampir iangat, ia malah memaksa bahwa tidak mungkin kami secepat ini beranjak dewasa, padahal baru kemarin beramai – ramai memanjat pohon mangga di halaman rumahnya.

Saat lulus SMA, aku melanjutkan kuliah ke luar kota. Tak pernah lagi kudengar kabar kakek Joko. Aku pun mulai lupa pada masa kanak yang sering kuhabiskan dirumahnya. Hanya setiap tanggal 17 Agustus aku ingat pada kakek Joko. Berdiam sebentar memikirkannya, kemudian esoknya lupa lagi sampai tanggal 17 Agustus tahun berikutnya datang.

Hari ini adalah lebaran pertama setelah aku  menikah. Aku mengajak istriku pulang ke kampung halaman. Sesampainya di rumah aku dikejutkan oleh sebuah kabar. Aku tak bsia lagi mengunjungi kakek Joko untuk bersilaturahmi. Tanahnya diambil pemerintah dengan alasan bahwa tanah yang ia tinggali selama ini adalah tanah milik negara. Aku geram, namun hanya bisa diam. Saat kutanya kini kakek Joko tinggal dimana, Ibu hanya menggeleng penuh iba.


Sepulang darirumah orangtuaku aku melewati taman kota. Disinilah upacara bendera tahunan bersama gubernur biasa dilaksanakan. Tempat kakek Joko biasa berdiri dengan gagah sebagai veteran. Sekilas mata, aku memandang kea rah tiang bendera. Kulihat seorang kakek tua berjalan terseok – seok sambil dirangkul istrinya yang berkerudung batik. ia berhenti tepat di depan tiang bendera kemudian member hormat pada tiang yang berdiri tanpa bendera di ujungnya. Ia member hormat sekitar 20 detik, kemudian melanjutkan lagi berjalan kea rah barat. Beberapa anak nakal mengikutinya di belakang sambil meneriaki laki – laki tua dan istrinya itu.. “orang gila..orang gila..”. (kem)

ilustrasi veteran


Tidak ada komentar:

Posting Komentar