Hampir tiap sore Kakek Joko keluar dari rumahnya
dengan memakai pakaian perangnya yang using. Sisa lekat lumpur yang terlihat jelas di ujung
bawah lingkar celananya, menandakan bahwa setelan pakaian itu sering menyentuh
tanah. Baju itu makin usang sebab usianya sudah lebih dari setengah abad, dan
katanya tak pernah ia cuci. “Kalau dicuci nanti bau darah perjuangannya bisa
hilang. Ini sejarah, nak. Saksi sejarah..”
Saat masih SD, sepulang sekolah aku dan kawan –
kawan di sekitar rumah suka berkunjung ke rumah kakek Joko. Rumahnya berada
agak pedalaman dari rumah penduduk. Melewati petak sawah yang kering tak
terawatt selebar 7 meter. Rumahnya berdiri di tanah dengan luas sekitar 2 are.
Namun rumahnya menyudut di belakang. Kecil sekali. Mirip kandang kambing di
kampung. Cat – cat temboknya mengelupas tak teratur. Langit – langit kamarnya
bocor disana – sini. Di rumah yang hanya terdiri dari 2 kamar itu, ia tinggal
bersama istrinya. Selama kami berkunjung kesana, kami tidak pernah melihat
siapapun kecuali sepasang suami istri yang kian renta itu. Namun menurut warga
disana kakek Joko punya dua anak laki – laki. Tapi mereka merantau jauh entah
kemana dan tidak pernah pulang mengunjungi orang tuanya.
Di halaman rumahnya tumbuh menjulang dua pohon
mangga, masing – masing di sisi kiri dan sisi kanan. Jika sedang berbuah lebat,
istri kakek Joko suka memberikan mangga yang matang pada warga sekitar dengan
Cuma – Cuma. Kadang kami membuat rujak bersama disana sambil mendengarkan
cerita kakek Joko.
Setiap kali kami berkunjung ke rumahnya, kakek Joko
hampir selalu menceritakan hal yang sama berulang kali. Barangkali ada banyak
cerita yang ia punya semasa menjadi prajurit perang. Namun usia yang kian
bertambah tentu menghapus sebagian ingatannya pelan – pelan. Kami berusaha
untuk tidak pernah bosan, sebab selalu ada sepiring pisang goreng buatan istrinya
di meja, lengkap dengan teh hangat yang tidak terlalu manis. Dengan sisa gigi
yang diam – diam suka kami hitung saat beliau bercerita, kakek Joko masih bisa
berbicara dengan lancar meski sesekali suaranya tenggelam seperti melumat
sesuatu yang kental di dalam mulutnya. Kadang – kadang kami malas untuk
berkunjung ke rumahnya. Selain sudah bisa menebak apa yang akan ia ceritakan,
kami saat itu lebih suka bermain kelereng dan yoyo. Namun ibu dan ayah kami
memaksa kami untuk datang ke rumahnya. Kakek Joko sudah seperti ayah bagi orang
tua kami. Mereka akan merasa tidak enak bila kakek Joko kesepian. Setidaknya
bila ada yang mendengarkan cerita perjuangannya, ia masih yakin kalau saat tu
ia masih hidup dan masih bisa membagi ceritanya pada orang lain.
Setiap tanggal 17 Agustus, kakek Joko selalu jadi
salah satu tamu istimewa pada pelaksanaan upacara bendera di lapangan kantor
gubernur. Ia berdiri paling tegak di antara rekan – rekan seperjuangan lainnya.
Kadang aku merasa kakek Joko diperlakukan tidak adil. Puluhan tahun ia berjuang
bersama rekan – rekannya untuk merebut kemerdekaan. Tapi setelah kemerdekaan
itu bisa dirayakan dengan meriah setiap tahunnya, ia justru dilupakan. Hanya
diundang setahun sekali untuk berdiri di bawah terik matahari. Disebut namanya
sebagai pahlawan, disambut tepuk tangan, dan diberi uang saku sekedar untuk
makan satu bulan kemudian dilupakan. Ia selalu merasa dibanggakan, tanpa sadar
bahwa ia sesungguhnya telah jadi bagian yang dilupakan dari sejarah.
Ia dan istrinya sudah renta. Sudah tak punya sisa
tenaga untuk bekerja. Selama ini mereka hidup dari pemberian para tetangga. Beras,
lauk pauk atau jajanan kecil untuk sarapan. Kakek Joko seringkali merasa bahwa
perhatian para tetangga padanya adalah bentuk penghargaan mereka karena ia
adalah mantan pejuang. Tapi diluar dari yang ia duga selama ini. para tetangga
hanya merasa iba padanya. Gelar veteran bukanlah gelar yang penting lagi di
mata masyarakat. Sebab telah berpuluh tahun dari kemerdekaan, dan hidup mereka
terlalu sia – sia jika hanya digunakan untuk mengenang pejuang. Orang – orang
masa kini lebih mementingkan dirinya sendiri. Mementingkan sesuap nasi untuk
anak – anaknya. Tak ada lagi kepedulian pada sejarah.
Suatu hari di tanggal 17 Agustus. Kakek Joko tidak
diundang ke upacara bendera manapun. Biasanya pagi – pagi sebelum berangkat
untuk mengikuti upacara bendera, ia akan berjalan tegap sepanjang perumahan
kami sambil menyanyikan lagu perjuangan. Bila mendengar suara hentakan kaki
dengan suara nyanyian yang menggebu, berarti kakek joko sedang gembira. Dan
orang – orang di perumahan akan keluar rumah sekedar untuk menyapanya diselingi
canda tawa.
Tidak diundangnya kakek Joko ke upacara bendera hari
kemerdekaan RI menajdi pembicaraan ibu – ibu di perumahan selama berminggu –
minggu. Ada rasa iba, marah, cuek dan bermacam lainnya. Suatu sore, kami
bermain ke rumah kakek Joko. Ia tidak sesumringah biasanya. Ada sedikit
ekspresi malu di wajahnya saat mendapati kami masih mau berkunjung ke rumahnya
setelah ia secara tidak langsung sudah tidak diakui sebagai veteran. Saat itu
kami ingin sekali menghiburnya, sebab kami tahu ia pasti sangat sedih karena
tidak bisa lagi menyaksikan bendera merah putih berkibar di hadapannya. Di
hadapan seorang veteran yang ikut memperjuangkan kemerdekaan negara yang sama
sekali tidak memperjuangkan hidup para veteran.
Beranjak remaja, kami makin jarang bermain ke rumah
kakek Joko. Kami mulai sibuk denagn diri kami sendiri. Ternyata benar, semakin
dewasa kita tidak lagi punya waktu untuk orang lain. tidak bisa lagi saling
peduli seperti saat masih SD. Padahal kami pernah berjanji akan tetap jadi
teman bermain sampai dewasa nanti. Tapi kepentingan dan usia bebas merubah apa
pun. Termasuk persahabatan kami dengan kakek Joko. Tahun ke tahun kami lewati.
Dan ternyata hanya saat lebaran kami mengunjungi kakek Joko dan istrinya. Masih
saja ia bercerita soal masa – masa berperang dahulu. Bedanya kini ia mulai lupa
padaku dan kawan – kawan. Saat ia hampir iangat, ia malah memaksa bahwa tidak
mungkin kami secepat ini beranjak dewasa, padahal baru kemarin beramai – ramai
memanjat pohon mangga di halaman rumahnya.
Saat lulus SMA, aku melanjutkan kuliah ke luar kota.
Tak pernah lagi kudengar kabar kakek Joko. Aku pun mulai lupa pada masa kanak
yang sering kuhabiskan dirumahnya. Hanya setiap tanggal 17 Agustus aku ingat
pada kakek Joko. Berdiam sebentar memikirkannya, kemudian esoknya lupa lagi
sampai tanggal 17 Agustus tahun berikutnya datang.
Hari ini adalah lebaran pertama setelah aku menikah. Aku mengajak istriku pulang ke
kampung halaman. Sesampainya di rumah aku dikejutkan oleh sebuah kabar. Aku tak
bsia lagi mengunjungi kakek Joko untuk bersilaturahmi. Tanahnya diambil
pemerintah dengan alasan bahwa tanah yang ia tinggali selama ini adalah tanah
milik negara. Aku geram, namun hanya bisa diam. Saat kutanya kini kakek Joko
tinggal dimana, Ibu hanya menggeleng penuh iba.
Sepulang darirumah orangtuaku aku melewati taman
kota. Disinilah upacara bendera tahunan bersama gubernur biasa dilaksanakan.
Tempat kakek Joko biasa berdiri dengan gagah sebagai veteran. Sekilas mata, aku
memandang kea rah tiang bendera. Kulihat seorang kakek tua berjalan terseok –
seok sambil dirangkul istrinya yang berkerudung batik. ia berhenti tepat di
depan tiang bendera kemudian member hormat pada tiang yang berdiri tanpa
bendera di ujungnya. Ia member hormat sekitar 20 detik, kemudian melanjutkan
lagi berjalan kea rah barat. Beberapa anak nakal mengikutinya di belakang
sambil meneriaki laki – laki tua dan istrinya itu.. “orang gila..orang gila..”. (kem)
![]() |
ilustrasi veteran |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar